Pages

Selamat dari Gempa Palu (Part 4 ~ end)

Jumat, 05 Oktober 2018

Pada hari Minggu (30/09/2018) pukul 03.20 WITA dini hari, kami mendapat kabar bahwa akan ada pesawat Hercules masuk ke Palu membawa bantuan dan bisa membawa penumpang keluar dari Palu ke Makassar. Tanpa pikir panjang aku langsung memutuskan ikut ke bandara membawa ransel berisi laptop dan mukena, tas berisi dompet dan hp, serta satu kantong plastik berisi sepatu dan satu setel pakaian yang berhasil kuambil dari mess pada hari sebelumnya. Aku bersama teman-teman yang mayoritas perempuan tiba di bandara yang sudah dipenuhi banyak orang. Prosedur pendaftaran untuk naik pesawat Hercules pun tampaknya belum diatur dengan jelas sehingga banyak orang mengantri di dekat pagar landasan pesawat.

Kami mengantri dari menjelang shubuh di Bandara Mutiara Sis Al-Jufri Kota Palu. Foto diambil 30/09/2018.
Petugas berusaha menertibkan masyarakat yang ingin dievakuasi dengan pesawat Hercules. Foto diambil 30/09/2018.
Pesawat yang mari sebut saja Hercules. Foto diambil 30/09/2018.

Petugas mengedarkan daftar presensi selama penerbangan Palu - Makassar. Foto diambil 30/09/2018.

Beberapa mobil ambulans langsung mendekati pesawat begitu mendarat di Makassar. Foto diambil 30/09/2018.
Aku dan beberapa teman yang merasa tidak kuat untuk berdiri lama, memilih menunggu di dalam mobil saja. Saat waktu shubuh tiba pun kami terpaksa sholat di dalam mobil juga. Sampai akhirnya matahari bersinar terang dan semakin banyak orang, kami memutuskan ikut mengantri dari jarak dengan pagar. Sempat terjadi aksi dorong-mendorong yang menyebabkan kami bisa masuk ke area landasan pesawat dan memancing emosi petugas yang berusaha menertibkan antrian yang carut-marut ini. Petugas bilang bahwa kami duduk saja dan nanti namanya akan dipanggil. Namun tidak jelas kepada siapa kami harus mendaftarkan diri. 

Ketika sudah ada suara pesawat mendarat, ternyata tujuan terbangnya adalah ke Manado, bukan Makassar. Kembali terjadi aksi dorong-mendorong di antrian yang membuat anak-anak kecil yang berada di tengah kerumuman tergencet dan hampir pingsan. Beberapa kali kami duduk-duduk dan berdiri lagi mendekat ke kerumunan antrian tanpa kepastian. Aku berusaha untuk tidak terpisah dari teman-temanku. Sampai para petugas membuat pagar betis untuk memprioritaskan hanya ibu-ibu dan anak-anak yang boleh masuk ke kawasan landasan pesawat terlebih dahulu.

Pada saat itulah aku bersama Fariz (4 tahun) dan Mas Jae terpisah dari rombongan teman-teman kami. Tiba-tiba di depanku melintas seorang petugas memakai seragam rescue berwarna merah dan menanyakan tujuan kami, ke Manado atau ke Makassar. Aku dengan pasrah menjawab, "terserah kemana aja yang penting keluar dari Kota Palu ini dulu". Ternyata bapak tersebut mengajak kami bertiga untuk ikut bersamanya masuk ke kawasan landasan pesawat. Aku sudah berusaha mengatakan bahwa ada seniorku yang sedang hamil (ibunda Fariz) yang ketinggalan di rombongan belakang. Bapak itu bilang, "yang penting selamat dulu, jangan bawa-bawa teman, nanti petugas marah". 

Kami mengikuti bapak itu untuk menuliskan nama, kemudian digabungkan dengan orang-orang yang sudah bergerombol dan dihitung. Sekitar 80 orang waktu itu diminta langsung masuk ke pesawat TNI yang sepertinya terlalu kecil untuk disebut Hercules tapi karena aku tidak paham nama-nama pesawat, jadi mari kita sebut saja Hercules. Di dalam pesawat tidak semua orang dapat tempat duduk, diutamakan untuk wanita dan anak-anak. Aku duduk dengan Fariz di pangkuanku, sementara mas Jae lesehan selama penerbangan berdurasi 1 jam 20 menit itu. Di dalam pesawat yang lepas landas sekitar pukul 8.50 WITA tersebut, petugas mengedarkan kertas untuk kami isi nama masing-masing termasuk nama anak yang kami bawa.

Begitu mendarat di Bandara Hasanuddin Makassar, kami diminta menuliskan lagi nama dan alamat tujuan. Sementara menunggu mas Jae yang sedang menulis, Fariz sudah berteriak memanggil ayahnya. Alhamdulillah ternyata sudah banyak teman-teman dari Perwakilan Sulsel yang menjemput kami. Aku terharu dengan kekompakan dan kebaikan teman-teman di kantor ini, yang sudah saling bantu dengan tulus ikhlas, semoga Allah membalas kebaikan mereka dengan pahala dan keberkahan yang lebih banyak lagi. Ternyata ibunda Fariz beserta teman-teman serombongan harus bersabar untuk menanti penerbangan jam 2 siang karena kabarnya menunggu rombongan Presiden Jokowi selesai dahulu.

Setelah istirahat semalam di Makassar, aku dan dua rombongan keluarga lain bertolak menuju domisili masing-masing. Aku yang sama sekali tidak menangis saat gempa mungkin efek terlalu syok juga malah tersedu-sedu sendirian di pesawat menjelang pendaratan di Jogja. Rasanya sangat rapuh, sedih sekaligus mengkhawatirkan teman-teman yang masih ada di Palu. Bertemu keluarga pun seperti orang linglung, tidak fokus pada apa yang mereka bicarakan karena pikiran dan hatiku masih pilu mengingat teman-teman di Palu.

End.

 

Selamat dari Gempa Palu (Part 3)

Hari Sabtu (29/09/2018) sebagian besar dari kami yang mengungsi di kantor telah berpindah ke mess. Di halaman mess, teman-teman membuat tenda darurat dari terpal yang dikaitkan ke ranting pohon. Aku juga sempat masuk ke dalam kamarku di mess untuk mengambil laptop, satu setel pakaian, mukena, sajadah, alat mandi, bantal, dan selimut. Aku hanya membawa peralatan yang benar-benar penting karena dikhawatirkan ada gempa susulan, sehingga setiap orang hanya diberi waktu selama lima menit di dalam bangunan. Sama seperti di kantor, orang-orang masuk ke mess dengan menggunakan helm dan bergantian dengan beberapa teman yang berjaga di luar bangunan.



Dapur mess yang porak poranda. Foto diambil 29/09/2018.
Lampu penerangan yang tumbang dan pagar kompleks yang roboh. Foto diambil 29/09/2018.
Tenda darurat dari terpal yang kami buat. Foto diambil 29/09/2018.
Lantai garasi yang menganga dan tandon air yang jatuh. Foto diambil 29/09/2018.
Gazebo di tengah kompleks yang telah roboh. Foto diambil 29/09/2018.

























Secara fisik keadaan mess lebih parah daripada kantor. Gazebo di tengah halaman dan pagar yang mengelilingi mess roboh, permukaan tanah tempat ground tank di mess terangkat, bangunan dan beberapa garasi rumah dinas retak sampai menganga, muncul lumpur di beberapa titik, serta tangga penyangga tandon air dan beberapa tiang lampu penerangan di kompleks mess patah. Namun suasana di mess lebih hidup sehingga kami lebih semangat ketika berada di sana.

Seperti sudah terbagi, ada teman-teman yang menyiapkan makanan dengan stok yang masih ada dari mess dan rumah-rumah dinas, ada juga yang melanjutkan pencarian terhadap beberapa keluarga teman-teman yang belum ada kabarnya. Aku sempat ikut rombongan yang berkunjung ke kantor lagi karena di mess tidak ada ada sinyal. Kami membeli tambahan bahan makanan dan sayuran di warung yang masih buka. Kami saling menguatkan dengan saling bertukar kabar dan diselingi becanda bersama. Kami makan dengan nasi dan lauk seadanya dengan daun pisang yang "dipincuk". Itupun pincuknya kami simpan untuk sesi makan berikutnya. Meskipun makan dengan porsi mini, namun kebersamaan memang menguatkan dan menambah kenikmatan.

Saat malam menjelang, kami bersama-sama tidur di bawah tenda karena kami tidak berani berada di bawah bangunan meskipun hanya di teras atau di garasi perumahan. Guncangan-guncangan gempa lebih terasa jika kita berada di lantai bangunan daripada duduk di atas paving blok. Semuanya teratur, ibu-ibu dan anak-anak tidur di atas kasur yang dikeluarkan dari rumah-rumah dinas, sisanya menempatkan diri masing-masing dan ada pula yang tidur di dalam mobil dengan kaca terbuka. Sempat hujan juga di tengah malam sehingga yang tidur beratapkan langit karena panjangnya terpal tidak dapat menaungi kami semua harus kembali mencari tempat yang lebih aman. 

Bersambung~

Selamat dari Gempa Palu (Part 2)


Jumat malam itu terasa sangat panjang. Tak terhitung berapa kali kami saling berpegangan tangan dan menyebut nama Allah saat tiba-tiba bumi kembali berguncang. Jaringan telepon, internet dan listrik yang mati total membuat kami semakin panik dan takut tak dapat mengabari keluarga masing-masing di luar kota hanya untuk mengabarkan keselamatan kami. Kami pun mendapat kabar bahwa tsunami telah menyerang Pantai Talise yang pasti sedang dipenuhi banyak orang berkaitan dengan pembukaan acara Palu Nomoni 2018. 

Halaman belakang kantor tempat kami bermalam setelah gempa besar hari Jumat. Foto diambil Sabtu (29/09/2018)

Seorang warga berjalan di Jalan Dewi Sartika Kota Palu. Foto diambil Sabtu (29/09/2018)

Bangunan yang miring akibat gempa di Jalan Dewi Sartika Kota Palu. Foto diambil Sabtu (29/09/2018)
Aku merasa bersyukur bahwa kami masih diberi keselamatan, sekaligus was-was dan takut jika tiba-tiba muncul bencana yang lebih besar dan saat itu menjadi saat terakhirku di dunia ini. Aku benar-benar takut amalanku belum cukup untuk kembali pada-Nya. Waktu itu terasa sekali bahwa yang paling dekat dengan manusia adalah kematian, namun aku merasa lalai dalam mempersiapkannya. Aku beneran merasa takut, tak berdaya dan menyesal selama ini masih sering sombong dan melakukan hal-hal tak berguna.

Sepanjang malam itu kami saling menguatkan dan berdoa bersama-sama. Jika ada orang yang datang, kami langsung terjaga. Pun jika ada gempa susulan yang besar, kami langsung duduk waspada dari posisi tidur masing-masing, karena setiap akan ada gempa yang besar dan terasa, kami seperti mendengar suara dentuman entah dari mana asalnya. Jangan ditanya berapa kali gempa susulan, karena sepanjang malam kami merasa seperti dalam ayunan. Kami sampai tidak bisa membedakan apakah itu benar-benar gempa atau kami yang pusing karena lelah dan kurang tidur. Aku sangat memohon pada Allah agar malam itu tidak hujan, karena aku takut malam akan semakin mencekam jika tak ada sinar bulan. Alhamdulillah bintang dan bulan menemani tidur ayam kami sampai pagi. Saat melaksanakan sholat shubuh pun aku masih sempat takut kalau matahari tak bersinar. Alhamdulillah hari Sabtu (29/09/2018) matahari bersinar terik sebagaimana biasanya di atas Kota Palu.

Ketika cahaya matahari pagi sudah mulai menerangi, kami memberanikan diri untuk jalan-jalan di sekitar kantor. Mengamati dan mengabadikan beberapa kerusakan kantor dari jarak aman. Waktu itu, dengan menggunakan helm, beberapa orang termasuk aku, memberanikan diri untuk masuk kembali ke dalam bangunan kantor. Posisi mejaku yang tidak mendapat jendela langsung keluar gedung, gelap dengan almari kaca yang telah jatuh mengunci kursiku sehingga sulit dipindahkan. Aku merasa takut dan hanya bisa membawa barang seperlunya. Alhamdulillah tasku sudah di bawah meja dan dompet serta hp sudah ada di dalamnya, tinggal ambil saja karena memang pada hari sebelumnya aku sudah bersiap akan pulang. 

Dari malam aku tidak enak makan, sehingga hanya mengganjal perut dengan sekotak sari kacang hijau dan air putih. Saking takut dan was-was, aku merasa tidak lapar. Pagi hari baru aku makan mie instan yang dimasak oleh teman-teman pada tengah malam dan teh hangat buatan mbak Ika yang kami dapatkan dari stok kantin kantor. Sekiranya cukup untuk menenangkan dan memberi energi untuk melanjutkan hidup. Alhamdulillah aku sempat tidur beberapa saat sebelum abang-abang datang dan menginstruksikan bahwa sebaiknya kami pindah ke mess saja karena di mess sedang diusahakan menyalakan genset untuk menyalakan pompa air dan mengisi batre hp. Beberapa teman yang menggunakan XL dan Telkomsel sesekali mendapat sinyal sehingga kami bisa mengirimkan kabar kepada keluarga masing-masing.

Bersambung~

Selamat dari Gempa Palu (Part 1)

Kamis, 04 Oktober 2018

Sore itu hari Jumat (28/09/2018) menjelang Maghrib aku masih di kantor, menginput beberapa surat tugas yang baru ditandatangi oleh kepala kantor. Sebenarnya ada keinginan untuk pulang ke mess, namun kupikir nanggung, sekalian saja aku selesaikan dulu pekerjaan daripada hari Sabtu aku harus ke kantor lagi. Namun tiba-tiba gempa mengguncang bangunan kantor kami. Awalnya aku masih tenang, karena dari jam 2 siang sudah ada tiga kali gempa berkekuatan lebih dari 5 SR dan kami tidak apa-apa. Tetapi aku salah, gempa yang terjadi kekuatannya lebih besar dan durasinya lebih lama dari tiga gempa yang terjadi sebelumnya pada hari itu, sehingga aku berlari dengan panik untuk segera keluar gedung kantor.

ATM depan kantor kami rubuh seketika. Foto diambil Sabtu (29/09/2018).

Bangunan kantin dan ruang genset kantor yang terbelah menjadi 3 bagian. Foto diambil Sabtu (29/09/2018).

Permukaan tanah yang bergelombang terlihat dari paving blok yang sudah tidak rata lagi. Foto diambil Sabtu (29/09/2018).

Pintu depan kantor di sisi selatan. Foto diambil Sabtu (29/09/2018).

Aku berlari tanpa alas kaki, dalam kondisi panik dan takut, aku terus menyebut nama Allah.  Tak peduli terpeleset karena dalam otakku saat itu adalah bagaimana caranya agar aku bisa segera keluar dari gedung itu. Tepat di depan tangga lantai 1, aku melihat seorang lelaki berjaket hitam yang terpeleset dan ada air entah dari mana. Dilema antara ingin menolong dan menyelamatkan diri, akhirnya aku memutuskan keluar dari pintu kaca di belakang kantor. Karena lantai depan pintu sudah bergeser ke atas, membuat pintu itu tak bisa dibuka secara sempurna. Akhirnya aku terperosok di taman dan parit kecil di dekatnya. Pikiranku masih dihantui ketakutan akan kemungkinan robohnya gedung dan pecahan kaca yang bisa mengenaiku kapan saja. Aku langsung bangkit dari dan melompat sehingga badanku jatuh berguling di paving blok di halaman belakang kantor. 

Aku segera bangkit dan menghampiri seorang satpam senior yang sedang menenangkan dua remaja putri peserta latihan karate di kantor kami. Kemudian dari pintu tempatku keluar, muncul tiga orang teman yang baru saja keluar gedung. Kami langsung berkumpul bersama di dekat mushola. Beberapa saat kemudian muncul Pak Heri yang menyebut namaku. Aku langsung merespon bahwa aku selamat dan aku bilang kalau ada lelaki berjaket hitam terpeleset di lantai 1 yang tiba-tiba berair. Ternyata lelaki itu adalah Bang Ipang. Alhamdulillah dia selamat setelah keluar dari lobby depan. Air yang tetiba muncul ternyata adalah air akuarium besar yang kacanya telah pecah. Jangan tanyakan kami bagaimana nasib ikan arwana seharga 40 juta rupiah yang menjadi penghuninya. Entah bertahan atau tidak.

Ternyata masih banyak orang yang belum pulang. Akhirnya kami menggelar karpet mushola di halaman belakang tempat yang biasanya digunakan untuk latihan karate. Kami juga mengeluarkan seluruh isi almari mushola berupa mukena, sajadah dan sarung. Beruntung air di tandon mushola masih ada sehingga dapat kami gunakan untuk wudhu dan bersuci setelah buang air. Mukena-mukena juga sangat bermanfaat untuk kami menghangatkan diri dari dinginnya malam. Kami tidur memakai mukena sepanjang malam.

Bersambung~
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS