Pages

Witing Tresna Jalaran Saka Kuliner

Senin, 21 November 2016

Sebuah pepatah Jawa berbunyi, "Witing tresno jalaran saka kulina" yang bisa diartikan sebagai "Cinta ada karena terbiasa". Kalian pasti mengira aku sedang baper-bapernya. Memang iya, untuk pertama kalinya setelah setahun di sini, aku baper pada ikan bakar, hahaha.

Sudah menjadi kebiasaan untukku menginginkan menu makanan yang berbeda setiap hari. Bahkan kalau lama tak pulang, aku bisa kangen banget pada bubur gudeg atau nasi liwet. Jangankan berada jauh seperti ini. Di rumah saja aku bisa kangen makanan di Jogja. Di tempat nenek, aku bisa kangen makanan di rumah, atau sebaliknya. Ya, nyebelin memang. Mamahku melabeliku "ilat keplek", aku tak mau makan dengan menu yang sama dalam beberapa hari alias nget-ngetan kalau di rumah, kalau di kosan sih ya daripada nggak makan hahaha.

Sama seperti di sini. Di antara menu khas daerah Palu yang ada, belum ada yang aku suka. Biasanya aku memakannya di acara tertentu saja. Sebut saja utadada, kapurung, ikan bakar, bubur Manado, binte, sop saudara, cotto, kaledo, ayam bakar Madamba, dan lain sebagainya. Tak ada yang benar-benar menarik perhatianku, kecuali bubur Manado karena pada dasarnya aku penyuka bubur. Pun aku paling jarang makan ikan. Padahal ikan laut di sini masih sangat segar, baru mati sekali. Tidak seperti di Jawa yang ikannya sudah mati berkali-kali.

Tetapi entah mengapa, sejak pekan kemarin aku ingin sekali makan ikan bakar. Memang sering aku tetiba ingin sekali makan sesuatu seperti orang ngidam. Sampai sempat terpikir membuat jamuan rapat kantor dengan menu ikan bakar di RM Sidrap di Jalan Basuki Rahmat. Tetapi urung dilakukan karena nggak yakin mereka bisa take away, kan biasanya ikan dihargai secara kiloan.

Seiring waktu berlalu, dan jamuan rapat akhirnya terwujud dalam bentuk pasta dan dada KFC. Meski pasta dengan saus creamy adalah favoritku, ternyata tak menghilangkan keinginanku menyantap ikan laut bakar. Selesai acara Kelas Inspirasi Palu #1 kemarin, kami makan bersama di RM Sauna Alam Pratama dengan menu ikan mujair bakar. Tumben aku bisa bersih memakannya. Biasanya makan ikan cuma sekedarnya saja.

Penampakan ikan bakar RM Sidrap yang difoto ala kadarnya keburu lapar, hahaha.
Kupikir keinginanku makan ikan bakar sudah tuntas. Ternyata aku salah, di akhir hari, aku spontan mengajak Itty makan ikan bakar di RM Sidrap dekat kantor. Beruntung dia mau menemaniku. Karena apalah arti makan nikmat kalau sendirian. Kami memilih jenis ikan batu dan dibakar dengan rasa yang pedasnya sedang. Aku memang tak bisa makan terlalu pedas, bisa membuat perut terasa panas dan bisa memicu kambuhnya maag.

Selesai makan rasanya bahagia sekali, seperti rasanya lebih enak dari biasanya. Mungkin efek ngidam yang terpenuhi. Mungkin aku sudah mulai jatuh cinta pada ikan bakar. Mungkin levelnya sudah naik dari "nggak sukamenjadi "ya, boleh deh" hahaha. Mungkin ini bekal empat tahun ke depan untuk menikmati kehidupan di sini. Mungkin ini tandanya aku mulai betah di sini. Mungkin.

Lipbalm Andalan

Selasa, 15 November 2016

Lipbalm atau pelembab bibir ini udah lumayan lebih akrab sama aku sejak SMA daripada gincu. Iya, emang punya bakat centil dari zaman dulu kala hahaha. Zaman SMA dulu pake Lip Ice Sheer Color yang strawberry sama orange kalau nggak salah. Meningkat jadi Maybelline Baby Lips di masa kuliah. Seingatku Lip Ice lebih berminyak, makanya begitu pakai Baby Lips yang ga gitu kayak habis makan gorengan jadi ketagihan.

Menjelang ke Palu, yang di perkiraanku bakal lebih panas dari Kota Solo dan Joga dan ternyata memang begitu adanya, aku mulai mencoba varian lipbalm yang lain. Pilihanku jatuh pada brand Nivea Soothe & Protect SPF 15, yang belum habis sampai sekarang karena diselingi dengan Lip Conditioner Pixy waktu ngira si Nivea hilang tetapi ternyata cuma ketinggalan di rumah teman saat menginap. Karena berasa punya ganti akhirnya yang Nivea ditinggal di kantor dengan maksud berjaga kalau butuh touch up, nyatanya selalu lupa dan berakhir dibawa pulang lagi karena yang Pixy udah hampir habis. Yeay, ada alasan beli lagi, hahaha.

Vaseline, Nivea, dan Pixy.
Sebelum menemukan Nivea Soothe & Protect SPF 15 yang waktu itu selalu nggak ada di Mirota Kampus, aku mencoba Nivea Fruity Shine Strawberry. Nivea Fruity Shine Strawberry lebih glossy dan berasa nggak menyatu dengan baik kalau ditambah lipstik. Apalagi dia udah punya warna sendiri. Meski begitu, tetep aku pakai sampai habis. Kan sayang kalau mubazir, berarti buang uang juga, huhuhu.


Tuh kan yang Pixy (paling kiri) udah acakadut, karena paling sering dipakai.
Hampir setiap hari aku pakai Lip Conditioner Pixy yang nggak ada warnanya dan teksturnya ringan, jadi enak kalau mau ditambah lipstik. Sama seperti Nivea Soothe & Protect SPF 15  sih, cuma agak lebih berminyak sedikit. Jadi bikin glossy ke lipstik yang dipake setelahnya. Secara jenis kulitku kering banget dan sering di tempat ber-AC kalau lagi di Palu, biasanya aku makai lipbalm juga sebelum tidur. Lumayan bikin lembab dan mencegah bibir pecah-pecah.

Apalagi sekarang koleksi lipbalmku nambah dengan Vaseline Lip Therapy Rosy Lips. Aku paling suka memakainya sebelum tidur juga. Ini hadiah dari sahabatku Tias sewaktu dia berlibur ke Jepang. Tetiba doi kirim itu sepaket sama mug Starbucks Fukuoka. So sweet, right? Hihihi makasih ya, Cantik!

Newbie di Dunia Pergincuan

Senin, 14 November 2016

Dunia pergincuan memang begitu menggoda, apalagi bagi kaum hawa. Meja penuh pun selalu ada tempat untuk gincu baru, apalagi warnanya lucu. Apalagi kalau belinya atas dasar sekalian ongkirnya cyin~

Dari yang niat awalnya hanya ingin belajar make up, trus melanglang dunia maya mencari review step by step-nya, jadi pingin beli brush set-nya Mineral Botanica. Itu lho brand lokal baru di dunia make up Indonesia. Karena belinya online dan mumpung ada teman yang lagi dinas ke ibukota dan bisa dititipin via Go-Send yang ongkirnya lebih murah daripada JNE Jakarta-Palu, kemudian berasa sayang ongkir kalau cuma beli brush set aja.

Pingin coba Mineral Botanica soft matte lip cream. Dengan rasionalisasi kalau lipstik Coral Matte-nya The One Oriflame udah tinggal sedikit, dan warna Pixy 404 Peach Punch Semi Matte-nya gak bisa kelihatan tanpa didukung oleh lipstik lain. Waktu beli berasa bagus, nude gitu. Ternyata begitu dipake ke kantor terlalu pucat dan malah dikira ga pake gincu. Anyway, sejak resmi ngantor setahun lalu, gincu menjadi must have item, karena kalau ga pake bakal dibilang pucat banget dan dikira sakit.

Zaman diklat sembilan bulan tahun lalu sih cuma punya dua lipstik, Maybelline Colorshow 203 Cherry on Top sama Wardah Exclusive 41 hasil mupeng lip palette Chocoaholic punya adik kos zaman cari kerja. Begitu hijrah ke Palu, habislah sudah Wardah Exclusive 41 walaupun suka banget sama warnanya gak memutuskan beli lagi karena ga tahan lama, dipake makan langsung hilang. Karena aku suka lupa touch up, jadi pingin cari warna senada yang lebih tahan lama. Mungkin Mineral Botanica Soft Matte Lip Cream yang Pinky Beige bisa jadi substitusi.

5 hari kerja 5 lipstik cukup harusnya ya, sayang yang 1 kudu didobel biar keliatan.
Lipstik yang dibeli selanjutnya adalah Oriflame The One Coral Matte. Ini warnanya orange cerah banget dan lumayan tahan lama, tapi berasa tebel banget di bibir. Sedangkan gincu yang paling sering dipake adalah Maybelline MAT1 Bold Matte yang dibeli waktu kalap begitu pulang ke Jogja, hahaha. Pink cerah ceria dan tahan lama. Aku suka lipstik Maybelline karena lumayan tahan lama dari pagi sampai sore, bahkan malam.
Hasil impulsif terbaru adalah Purbasari 95 Amber. Warna pink matte-nya bagus dan tahan lama juga. Lipstick ini stained walau udah dihapus pake Nivea White Make Up Clear 2 in 1 Foam atau seperangkat susu pembersih dan penyegar. Menurutku, warnanya di antara dua lipstik Maybelline yang aku punya. Gincu Maybelline pun stain juga. Mungkin itu yang bikin tahan lama.
Ki-ka: Maybelline 203, Maybelline MAT1, Pixy 404, Purbasari 95, Oriflame The One Coral Matte.
Jadi kalau kerja Senin sampai Jumat dan punya lima warna lipstik yang berbeda, seharusnya bisa ganti setiap hari. Namun berhubung ada satu warna yang nggak seperti harapan, jadi boleh dong ya nambah warna lagi. Hahaha, pembenaran banget sih ini. Gak papa lah, toh masih reasonable price semuanya. Jadi, mari order satu atau dua gincu lagi. Muuuach!

Refleksi Setahun Disini

Selasa, 08 November 2016

Tepat setahun lalu pertama kalinya aku melangkahkan kaki di bumi tadulako ini. Diantar keluarga besar sampai Bandara Juanda Surabaya, berangkat bersama Nikko yang dilepas oleh keluarga dan pacarnya. Dua jam penerbangan terasa tak lama. Dijemput oleh Mbak Anggit, Mbak Itty dan Oled. Diajak ke kantor di hari Minggu untuk bertemu Kasubag SDM, Pak Andriyono yang saat itu sedang lembur. Dilanjutkan jalan-jalan ke Anjungan Nusantara di Talise dan Masjid Apung. Berakhir dengan menonton film James Bond; Spectre, di XXI Palu Grand Mall.

Setahun ini aku merasakan banyak perubahan dalam kehidupan bahkan mungkin kepribadian. Banyak tempat baru yang telah ku kunjungi, pun dengan pengalaman yang menyertainya. Pengalaman terpenting yang kupelajari disini adalah belajar beradaptasi. Entah saking jauhnya terhempas dari zona nyaman atau karena faktor lain, aku pernah bermalam beberapa hari di rumah sakit dengan diagnosa psikosomatis. Saat ditanya oleh psikiater pun, aku merasa tak tahu juga mengapa bisa seperti itu. Aku tak merasa memikirkan apapun secara berlebihan. Namun nampaknya anxiety memang menguasaiku saat itu.

Pulang dari rumah sakit, aku masih sering merasa pusing. Seperti ada beban berat yang kupikirkan namun aku tak tahu bagaimana mengurainya. Aku tahu pikiranku kacau, tetapi aku tak paham bagaimana mengeluarkannya. Akibatnya aku menjadi lebih diam dari biasanya. Mungkin pula lebih cuek kepada sekitar, karena pikiranku terfokus untuk keluar dari jeratan kecemasan itu. Di dalam hati, aku bertekad untuk menyembuhkan diri. Menguatkan mental dan pikiranku kembali.

Beruntung, tepat di saat aku merasa tak sanggup lagi, Allah memberiku kesempatan pulang. Walau hanya sebentar dan dalam rangka menunaikan tugas di ibukota, aku menyempatkan pulang. Sebelum sampai rumah, aku bertekad menemui psikolog. Aku tak mau ke psikiater karena tak ingin diberi obat-obatan dan menjadi ketergantungan. Aku bertekad aku harus dalam keadaan lebih baik saat berjumpa dengan keluarga.

Sengaja kuambil penerbangan paling pagi ke Yogyakarta, langsung menuju kampus tercinta. Sayang, Unit Konsultasi Psikologi tak memungkinkan menerima klien dadakan. Beruntung mereka memberikan alternatif ke sebuah klinik psikolog yang bisa menerimaku hari itu juga. Sekitar dua jam kuhabiskan bersama psikolog yang alhamdulillah sangat menenangkan, dan membuatku merasa jauh lebih baik. Aku siap pulang bertemu keluargaku dengan perasaan bahagia dan kembali ke perantauan dengan pikiran yang lebih tertata.

Sampai saat ini aku masih berusaha melepaskan sisa-sisa kecemasan itu. Belajar mengendalikan pikiran dan menjaga kesehatan. Dulu aku masih selalu ingin pulang, dan segalanya masih kubandingkan. Perlahan aku sadar, hidupku sekarang di sini, dan untuk beberapa tahun ke depan memang di sinilah tempatku berdiri. Aku harus menjalani dan menikmati kehidupanku yang sekarang sedang berlangsung disini, bukan membandingkan dengan segala kenyamanan di masa lalu atau mengandaikan masa depan tanpa mengusahakan kebaikan untuk mencapainya.

Terima kasih Tuhan, telah memberikan pelajaran berharga ke dalam kehidupanku ini, dan mengirimkan teman-teman yang tulus dan baik hati. Terima kasih untuk banyak nasehat dan bantuan yang selalu ada. Semoga ke depannya aku lebih kuat dan dewasa untuk menjalani kehidupan, pun bermanfaat bagi sesama. Aamiin.

Padamu Aku Selalu Rindu

Minggu, 21 Agustus 2016

"Padamu, aku selalu rindu." 
Kalimat yang mungkin akan ditafsirkan sebagai penggambaran betapa beratnya menahan rindu pada seseorang yang spesial. Kalimat ini terngiang di otakku sejak kemarian siang. Saat aku melepas kepulangan ibu dan dua adik lelakiku di bandara Mutiara Sis Al-Jufri Palu. Setelah mereka boarding, aku menunggu panggilan untuk penumpang JT 857 tujuan Surabaya untuk memastikan bahwa mereka tidak tertinggal oleh pesawat kepulangan.
Sesaat sebelum boarding, sempetin wefie dulu.




Apa yang lebih membahagiakan daripada dikunjungi oleh keluarga tercinta saat di perantauan? Ah Tuhan, entah bagaimana ku harus berterima kasih pada-Mu atas semua takdir baik ini. Aku selalu percaya bahwa Allah tak pernah kehabisan sumber untuk membahagiakan makhluk-Nya. Salah satu buktinya adalah sedikit cerita konyol dibalik kedatangan mereka kesini. Here we go!


Masih ingat cerita tiga minggu lalu saat aku terpaksa opname, kan? Saat itu, Selasa pagi tanggal 2 Agustus 2016, mereka bertiga sudah boarding di Bandara Internasional Juanda Surabaya untuk terbang ke Palu. Namun, petugas melarangnya karena ternyata tiket tertera tanggal 16 Agustus 2016. Aku yang hari itu sudah diizinkan pulang dari rumah sakit, tak kuasa mentertawakan kejadian konyol tersebut. Saking paniknya sama keadaanku, mereka sampai nggak teliti melihat tanggal tiket yang dibeli. Disitu aku merasa dicintai, sekaligus baru sadar bahwa kekonyolan itu ternyata genetik juga, hahaha :')

Butuh beberapa hari untuk mereka memutuskan refund atau tetap kesini. Dengan pertimbangan Fahmi yang ingin sekali naik pesawat, akhirnya jadi juga mereka terbang. Aku membelikan tiket pulang untuk hari Sabtu, 20 Agustus 2016 dengan pertimbangan masih ada hari Minggu untuk Fahmi beristirahat sebelum masuk sekolah. Jadi aku sudah mewanti-wantinya untuk tidak membolos sekolah di hari Senin dengan alasan kelelahan setelah perjalanan jauh. Maklum, dari Surabaya mereka harus menempuh perjalanan darat sekitar 6 jam untuk sampai di Solo.

Selama mereka di Palu, aku hanya bisa mengajak jalan-jalan ke Pantai Tanjung Karang setelah mengikuti Upacara HUT RI Ke-71 di kantor. Kalau nggak ikut upacara, konsekuensi potongan tunjangannya kejam sekali, huhuhu. Selain itu, mereka hanya kuajak keliling Kota Palu dengan melewati beberapa icon-nya seperti Anjungan Nusantara di Pantai Talise, kampus Universitas Tadulako, dan Jembatan McD. Oh iya, kami juga sempat berkunjung ke rumah salah seorang kerabat jauh yang ternyata sudah lama tinggal di Palu. Tidak lupa juga mereka mencicipi makanan khas di sini, yaitu Kaledo dan ikan bakar di RM Terminal Indah, Donggala. Bisa ditebak, sama sepertiku, mereka tak terlalu menyukai kaledonya, hahaha.
Fahmi nggak peduli teriknya sinar matahari di Pantai Tanjung Karang.

Selebihnya, mereka aku tinggalin motor saja biar pada bereksplorasi sendiri. Benar saja, ibuku bisa sampai ke Pasar Biromaru dan Gong Perdamaian, padahal aku sendiri pun belum pernah kesana. Semua berkat Ibu Andri yang baik hati mau menjadi guide emak-emak kurang piknik dari Sukoharjo itu, hehehe. Terima kasih Bu Andri, semoga Allah membalas kebaikan Ibu dengan berkah yang berlebih. Aamiin.
Mamah yang asyik JJS sementara anaknya masih di kantor, haha.

Sedangkan Faizal, yang sudah jauh diajak ke Pantai Tanjung Karang tetapi tak terkena air pun jalan-jalan sore sendiri di Pantai Talise. Konyolnya, ia memotret STNKnya yang katanya sudah sampai di Palu, walau motornya masih di rumah, hahaha. Kami gagal ke Gong Perdamaian karena susah bangun pagi dan aku selalu buru-buru ke kantor.

Terima kasih gengs, sudah mau jauh-jauh kesini. Ya, walaupun aku tahu kalian lebih bahagia karena bisa jalan-jalan meski kutinggal kerja, hahaha. Aku langsung bingung mau makan apa setelah mereka pulang, karena selama ibuku disini, beliau selalu memasak untukku. Bahkan aku bawa ke kantor untuk dinikmati bersama teman-teman yang kangen masakan Jawa juga. See you soon, all! (Walau mungkin lebaran haji aku akan tetap disini).

Ketika TM Seratus Menit Masih Kurang

Sabtu, 13 Agustus 2016

Happy Saturday night all..!
Bagi yang nggak jomblo pasti lagi wakuncar ya aduh bahasanya dangdut banget, hahaha. Bagi yang jomblo kemana? Kalau kalian tanya aku, jawabanku adalah di mess aja. Jangan salah, bukannya kaga ada yang ngajakin jalan, karena harusnya malam ini aku ngikut makan di Black Canyon sama temen kantor atau kumpul Kelas Inspirasi (KI), cuma karena tadi sore baru kelar pijet, jadi enaknya dibawa gegoleran di kasur sekalian menepati janji ke diri sendiri buat mengurangi keluar malam. Awalnya sih berencana menyelesaikan baca novelnya Pidi Baiq yang DILAN; dia adalah Dilanku tahun 1990. Tetapi dasarnya aku, lebih suka menelpon kawan lama yang nan jauh di sana. Kalau sedang begini, aku merasa menjadi orang yang kuat LDR, karena sejauh apapun jarak yang memisahkan, aku bakal selalu ingat pada orang-orang tersayang.

Korban kangenku malam ini adalah Dena. Neng geulis dari Banten ini adalah sahabat dari masa ospek kuliah sampai detik ini alhamdulillah. Selain satu kelompok semasa ospek, kami berdua juga sebimbingan semasa skripsi. Sebutlah kami sebagai anak bimbingan Daddy, yang berhasil membuatku menangis tak henti-henti sampai dua kali. Tetapi untungnya waktu pendadaran malah dibelain. Nah kan malah curhat, hahaha.

Terakhir kali aku telponan sama dia tuh waktu mengucapkan selamat ulang tahun pada 22 Mei lalu. Itu pun tak berlangsung lama karena aku menelponnya di perjalanan dari makan siang bersama tim waktu masih di Poso. Tak terasa sudah lima bulan berlalu rupanya sejak saat itu. Tetapi rasanya keakraban kami masih seperti bertemu setiap hari.

Setelah ngobrolin kehidupan masing-masing, tak perlu aku jelaskan siapa yang lebih banyak mendominasi obrolan kan? tak terasa paket TM Malam 100 menit telepon pun habis juga. Itu pun nggak terasa, sampai akhirnya Dena pamit duluan karena ada temannya yang lain yang mau digilir ngobrol juga. Terima kasih Dence, sudah merelakan hand phone dan telinga sama-sama panas buat dengerin suara cemprengku selama satu jam lebih dua puluh menit.

Korban yang jadi "tempat sampah" malam ini bukan cuma Dena sebenarnya, masih ada pacar orang yang sabar menyediakan waktu lengkap beserta paketan internet dan pegal-pegalnya jari membalas pesanku. Bukan, bukan aku jadi orang ketiga dalam hubungannya dengan pasangannya. As long as seseorang itu belum menikah, sah-sah saja aku bersahabat dengannya kan? 

Sewaktu aku bercerita kalau aku baru saja menghabiskan 100 menit bonus telepon, dia bilang nggak heran, karena terakhir kali aku menelponnya pun sekitar dua setengah jam. Setelah aku ingat-ingat, benar juga ya, aku tak pernah telponan dalam hitungan menit, melainkan hitungan jam, hahaha. Silakan dibayangkan betapa panasnya hand phone dan kuping pendengarnya. Poinnya di sini adalah aku suka mengobrol, suka bercerita. Jadi untuk siapa pun yang akan menjadi pendamping hidupku nantinya, kuharap engkau dianugrahi kesabaran yang tak terhingga dan kemampuan mendengarkan di atas rata-rata, hahaha.

Mungkin pengalamanku ini bisa menjadi salah satu insight untuk para provider telepon seluler, agar ke depannya dapat memberikan fasilitas tambahan bonus telepon. Karena bagi jomblo yang menjalani hubungan jarak jauh dengan keluarga dan sahabat sepertiku, tak cuma satu orang yang ingin ditelpon untuk menyampaikan rasa sayang dari kejauhan. Kalau buat jomblo yang lain sih mungkin bonus seratus menit masih kurang karena untuk menelpon gebetan-gebetan yang tak terhitung itu harus didukung dengan layanan yang jitu.

Sekian cerita malam ini, kalau ada yang tak berkenan mohon dimaafkan dan ndak usah dimasukkan ke hati. Selamat bermalam panjang, blo! 

P.S. Pacar orang yang aku sebutin ternyata nggak terima disebut sebagai tempat sampah belaka. Pun ternyata dia bete namanya nggak disebut. Padahal kan aku baik, udah melindungi privasinya. Eh doi minta disebut pakai nama samaran semacam "sebut saja Bunga" tapi request-nya "sebut saja Mas Ganteng". Kan aku nggak mau melakukan tindak pembohongan publik ya, hahaha. Kemudian dia minta kompensasi traktiran di Koki Joni. Hayuk aja sih kalau kita sama-sama lagi di Jogja, hiks...

Pindah Bobok di RS Anutapura Palu

Jumat, 05 Agustus 2016

Selamat menyambut akhir pekan guys,
Mari kita bahas cerita yang masih hot kayak nugget gosong baru diangkat dari penggorengan ya, cyin... Ceritanya beberapa hari lalu, aku dengan sangat terpaksa pindah bobok di RS Anutapura Palu. Rumah sakit umum daerah yang berada di Jalan Kangkung, dan dekat dengan Pasar Inpres. Jauh sih kalau dari kantor dan mess. 

Kalau ada yang kepo kenapa aku terpaksa bobok di sana, adalah karena aku kecapekan kebanyakan tingkah seperti biasanya dan sesak napas. Cuma entah kenapa sesak napas ini beda dari biasanya, jadi obat persediaanku udah gak mempan buat menangkisnya. Karena dibarengi dengan jantung yang berdegup kencang seperti orang setelah lelah berlarian mengejar mantan, didugalah aku menderita psikosomatis. Kalau kata sahabatku yang anak kedokteran, psikosomatis adalah stres yang bergejala fisik. Kalau pingin tahu lebih jelasnya silakan googling sendiri ye, hohoho.

Sebenarnya aku sudah masuk UGD di RS Bala Keselamatan Woodward, di lewat tengah malam, pukul setengah satu dini hari. Tetapi karena di sana hanya tersisa kamar kelas III, aku kekeuh raawat jalan aja. Kemudian masih sempat singgah ke RS Budi Agung buat ngecek ketersediaan kamar, karena di sana juga sudah bekerja sama dengan BPJS. Hasilnya nihil dan diputuskan ke RS Anutapura di hari Minggu pagi. 

Setelah masuk UGD, dikasihlah hasil rekam EKG dari RS Woodward sebelumnya, dan udah diinfus pake cairan warna pink. Masih pakai selang oksigen waktu di UGD. Harus bersabar beberapa saat untuk akhirnya dapat kamar di VIP 5 Lantai 3.

Sesungguhnya aku cuma merasa pusing dan lemas aja, dan agak lebih capek kalau habis ketawa. Aku mikirin apa ya kok sampai stres segitunya? Gausah dipikir deh yang penting sekarang sehat dulu ya.. Karena sesungguhnya sakit di perantauan itu menyusahkan orang lain. Aku jadi nggak enak hati sama teman-teman seperjuangan yang udah baik hati dengan tulusnya mau menemani bermalam di RS. Semoga Allah membalas kebaikan hati kalian ya, teman-teman tersayang :-*

FYI aku nggak tau ya gimana hitung-hitungannya tapi semuanya gratis. Aku pake BPJS yang buat ASN golongan IIIA, nggak paham itu yang per bulan berapa iurannya. Aku baru tahu sih kalau harga kamarku tanpa asuransi ternyata 650 ribu. Udah kayak hotel bintang 3 aja. Di sini aku makin bersyukur jadinya. Dibalik sakit yang diberikan oleh-Nya, dia tetap menyayangiku, meringankan bebanku. 

Sekarang fokus sembuh dulu biar nggak bikin orang-orang khawatir dan merepotkan lagi. Belajar menyeimbangkan ritme tubuh dan pikiran. Bismillah, pasti bisa lebih baik ke depannya.

Karena Menulis di Blog itu Nagih

Selasa, 26 Juli 2016

Sejak kuliah, aku memang menyukai media sosial. Hampir semua media sosial aku buat akunnya, mulai dari Facebook, Twitter, Blogspot, Tumblr, Instagram, Pinterest, Plurk, Path, Ask.fm, dan lainnya, sampai terinspirasi menyusun skripsi dengan tema penanganan komplain melalui media sosial. Semua akun media sosialku masih aktif sampai sekarang, walau tak semua akhirnya terbarui secara rutin. Biasanya aku memilih menggunakan media sosial sesuai peruntukkannya. Misalnya, jika aku sedang ingin update di lingkungan kantor, aku akan mengunggah postingan di Path, karena di sanalah aku banyak berteman dengan teman-teman seinstansi.

Beda halnya jika aku sedang ingin menggalau dan menyampah, aku akan bercuit di Twitter. Dan sekarang, saatnya aku ingin menulis panjang lebar tentang apa yang aku pikirkan. Aku memilih Blogspot. Walau sebenarnya bisa saja aku menuliskannya di Facebook, bahkan mungkin di sana aku akan mendapatkan lebih banyak perhatian dari khalayak. Namun, entah mengapa aku lebih suka menulis blog. Mungkin karena di sini aku lebih merasa nyaman untuk menjadi diri sendiri.

Dengan adanya fitur komentar di blog, memang memungkinkan siapa pun yang membacanya untuk meninggalkan komentar sama seperti di Facebook dan media sosial yang lain. Tetapi menurutku blog lebih terstruktur, dari pengaturan tulisan pun kita bisa membuatnya lebih rapi dan lebih nyaman untuk dibaca dibandingkan sebuah postingan panjang lebar di media sosial yang lain. Dari segi komentar yang ditinggalkan oleh para pembaca pun, lebih nyambung dengan apa yang aku maksud. Mungkin karena sudah terbiasa dengan jalan pikiran dan alur tulisan yang aku buat. Yang lebih esensial adalah pembaca blog adalah orang-orang yang lebih mau berkorban untuk berkunjung dan masuk ke area yang lebih dalam daripada sekadar apa yang terlihat di beranda media sosial yang lain.

Itulah alasanku masih bertahan menulis blog. Sedari kecil aku terbiasa menulis buku diary, dan mungkin setahun terakhir ini aku belum sempat menulisnya lagi. Sebagai gantinya, aku menuliskannya di sini. Tentu dengan konten yang sudah disesuaikan, mana yang baik dikonsumsi bersama publik, dan mana yang lebih baik disimpan sendiri. Pada dasarnya aku hobi menulis sih, menuliskan apa saja, pengalaman dan perasaan.

Terima kasih untuk penemu teknologi internet dan terobosan bernama blog. Terima kasih untuk para pembaca yang telah mau meluangkan waktu untuk membaca curhatan dan ceritaku. Aku usahakan untuk menuliskan hal-hal yang bermanfaat bagi sesama. 

P.S. Maaf kalau kata-katanya banyak yang tak begitu tertata. Aku masih belajar menyeimbangkan nada dan rasa untuk kepentingan pekerjaan dan bercerita.

Touring ke Danau Tambing, Taman Nasional Lore Lindu

Jumat, 15 Juli 2016

Akhir Februari lalu, aku berkesempatan mengikuti touring bersama teman-teman kantor. Pukul tujuh pagi, Mas Yo sudah datang ke mess. Karena aku memang sudah bilang mau nebeng dia, akhirnya yang lain bawa motor masing-masing. Kami berangkat berlima, aku, Mas Yo, Nikko, Mas Zeb, dan Mas Irfan. Hari itu kami berencana touring ke Danau Tambing melalui jalur Palolo. Aku senang bisa melewati jalan sepi yang di kanan kirinya masih dihiasi hijaunya sawah dan ladang. Sejenak meninggalkan  hawa panas Kota Palu yang menyegat itu.

Jalan yang kami lalui adalah jalan dua jalur yang meliuk naik turun. Kami harus berhati-hati agar tidak menabrak anjing yang banyak berkeliaran bahkan di tengah jalan. Yang paling menegangkan adalah saat harus melewati jembatan yang hanya dialasi kayu. Aku bahkan tak berani mengeluarkan telepon seluler hanya untuk mengabadikannya. Takut meleset dan hp meluncur ke sungai. 

Beningnya danau Tambing.
Sekiranya dapat separuh perjalanan, kami beristirahat di sebuah warung. Yang tentunya ada anjingnya dan aku setengah mati berusaha menghindari. Kebetulan kami belum sempat sarapan dan didukung cuaca yang mendung, mie instan rebus menjadi andalan kenikmatan yang tak terkira. Setelah melanjutkan perjalanan, ternyata jalannya ada yang sangat tidak bagus. Kami harus ekstra hati-hati untuk memilih jalur yang benar.

Sekitar pukul 10 akhirnya kami tiba di Taman Nasional Lore Lindu. Di tempat tersebut terdapat sebuah danau bernama Danau Tambing. Tempatnya sudah tertata dengan jalan setapak dan sedang dibangun sebuah rumah untuk disewakan bagi pengunjung yang ingin menginap. Banyak juga anak muda yang camping dan mendirikan tenda di pinggir danau.
Tempat para pengunjung mendirikan tenda
Beberapa saat menikmati rimbunnya pepohonan di Lore Lindu, kami bergegas pulang karena harus mengantar mbak Dita yang mutasi ke Papua ke bandara. Dalam perjalanan pulang, kami sempat mampir beristirahat di sebuah warung kecil yang menyediakan sageru, sejenis arak lokal yang entah terbuat dari apa. Tentu aku tak ikut meminumnya, hahaha.

Idul Fitri Pertama Setelah Merantau



Yeay akhirnya aku merasakan mudik. Walaupun bukan literally mudik macet-macetan berjam-jam seperti yang selama ini aku bayangkan. Tapi kasian juga kalau macetnya sampai berhari-hari macam di Brexit kemarin. Eh, aku pernah ngerasain macet juga ding lebaran ini, sewaktu di Grobogan, tapi kan bukan aku yang nyetir jadi ya woles aja aku masih bisa bobok di mobil hahaha. Pernah ngerasain nyelip-nyelip juga di antara kendaraan besar termasuk Bus Mira sewaktu motoran di jalan raya Sragen – Solo. Capek sih, pegel pegang gas dan kopling plus harus waspada injak rem. Bahkan sempat ditertawai mas-mas penunggang Vixion waktu aku beberapa kali mati mesin karena sudah gagal fokus.

Idul fitri ini aku merasa lebih bahagia daripada yang pernah aku lalui sebelumnya. Aku senang bisa bertemu dengan teman-temanku dari zaman SMP, SMA, kuliah, dan diklat. Dari yang masih sama-sama jomblo sampai yang sudah punya momongan. Bahkan ada beberapa yang belum sempat aku temui namun mereka sudah harus kembali ke tanah perantuan masing-masing. Senang rasanya bisa bertemu dengan mereka setelah sekian lama. Saling berbagi kabar terkini di kehidupan masing-masing sampai mendengarkan masukan yang tulus dan tidak menggurui.

Pun aku masih diminta menemani ibuku sowan kepada kerabat yang lebih tua. Saat aku mencoba protes kenapa harus aku yang ikut dan bukan saudaraku yang lain, ibuku menjawab dengan enteng, “Biar nanti kalau kamu nikah, mereka tahu kamu yang mana.”

Yaelah masih jomblo juga. Cobaan jomblo di hari lebaran memang luar biasa. Bisa ditebak dong pasti pertanyaan seperti apa yang diajukan para kerabat kepadaku setelah, “Ini yang kerja di Sulawesi itu?” Dan aku Cuma bisa nyengir kuda dan gelendotan di pundak orang tua. Biar dibilang masih masih muda dan belum pantes buru-buru nikah. Beberapa orang terutama yang tidak tahu aku kelahiran tahun berapa, memang terjebak dengan image manis manja itu hahaha.

Tuhan, terima kasih Kau izinkan aku menikmati Idulfitri ini bersama keluargaku. Siapa tahu tahun depan aku bisa merayakan dengan keluarga yang lebih lengkap lagi. Kau tahu maksudku kan, Tuhan Yang Maha Baik?

Tentang Rumahku

Sengaja memilih judul yang sama dengan judul lagu band indie Dialog Dini Hari. Kali ini memang aku ingin sedikit bercerita tentang rumahku. Menyadari tinggal hitungan puluhan jam kesempatanku di rumah, membuatku lebih melankolis dari hari-hari sebelumnya. Sebenarnya tak banyak kegiatan istimewa yang kulakukan selama di rumah. Kalau sedang tidak ada janji untuk bertemu teman-teman lamaku, aku akan melakukan tugas rumah seperti yang biasa kulakukan sedari dulu. Bangun tidur kalau tidak tidur lagi, biasanya aku akan ikut ibuku ke pasar atau membeli sarapan di penjual makanan pagi. Kalau sedang tak memiliki bahan makanan, ibuku akan lebih memilih membeli beberapa nasi bungkus sekaligus berbelanja sayur-mayur. Nasi bungkus dengan lauk urap dan oseng, ditambah beberapa tempe goreng, sudah cukup untuk amunisi di pagi hari. Khusus untukku dan adik bungsuku, biasanya ibuku akan membungkuskan dua porsi bubur dengan lauk telur ayam opor yang terpisah.

Selesai sarapan, ibuku akan sibuk di dapur sementara aku di kamar mandi. Mandi sekaligus mencuci adalah salah satu tugas wajib tak tertulis yang harus kukerjakan.  Di sela-sela itu, ibu bisa memberi tugas tambahan seperti mencuci piring dan menyapu lantai. Kalau menyapu lantai biasanya aku melakukannya sesuka hatiku, setiap aku merasa lantai terlalu ngeres. Menjelang siang biasanya ibuku berangkat bekerja, tinggalkan aku di rumah bersama adik bungsu dan keponakan-keponakanku kalau kebetulan sedang dititipkan di rumahku. Mengasuh tiga anak lelaki berumur lima, tujuh dan sembilan tahun yang tingkahnya minta ampun membuatku harus belajar sabar namun tetap tegas. Membiarkan mereka bermain asalkan tidak berbahaya dan tetap mengingatkan kapan harus sholat dan makan siang. Biasanya, mereka minta disuapi bersama tiga anak sekaligus jadi tetap bisa bermain dan tetap kenyang.

Jika beruntung, beberapa atau bahkan semua dari ketiganya akan tidur siang. Saat momen melegakan itu terjadi, biasanya aku bisa me time, sekadar browsing dan chatting atau menulis blog seperti ini, hihihi. Tuhan, terima kasih untuk kesempatan berlebaran bersama mereka. Terima kasih telah melahirkan aku di tengah keluarga ini, yang walaupun sangat biasa, namun selalu bersama dan saling percaya. Mohon jagalah mereka selagi aku kembali merantau nanti.
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS