End Year Presents
Sabtu, 31 Desember 2011
Ya silakan baca apa yang telah mereka tulis untukku. Yang bisa aku simpulkan adalah mereka tak sabar melihatku move on. Padahal, mungkin tanpa mereka sadari, secara sendirinya aku sedang mencoba melakukannya. Kali ini tanpa koar-koar pada khalayak, karena menurut pengalaman, omonganku tak pernah bisa dipegang kalau menyangkut hal yang satu ini. Makanya, aku gak ingin menebar janji dulu seperti para Calon Presiden 2014, haha.
Bagiku, kado manis dari teman-temanku ini ibarat pucuk dicinta ulam tiba. Datang tepat pada waktunya. Semakin menguatkanku untuk menatap ke depan, bukan meratap ke belakang. Atau mungkin ini sudah direncanakan Tuhan dengan begitu indahnya.
Izinkanku mengucap berjuta terima kasih tak terhingga pada Patrisia Luki Primaningtias, Rosa Warsiwara, dan Ansela Fausnina Dewanti. Tiga malaikat bertanduk yang tak henti mengingatkanku untuk tetap menapak tanah saat sedang terbang tinggi. Terima kasih teman-teman, memang benar kata @yeahmahasiswa, friends are family that you choose.
Selasa, 06 Desember 2011
Para penumpang berhamburan keluar kereta sesaat setelah kereta berhenti. |
Lihat di lingkaran merah, bebatuan di sekitar rel sampai ikut berwarna ungu. |
|
Twit bahwa Prameks kuning menabrak motor. |
Beberapa saat kemudian, setelah kereta dirasa sudah aman, para penumpang diminta naik kembali ke gerbong. Selanjutnya kereta berjalan lambat ke arah barat dan berhenti di Stasiun Delanggu, Klaten. Para penumpang diminta turun dan menunggu rangkaian Prameks selajutnya yang berangkat pukul 10.00 WIB dari Stasiun Purwosari, Solo.
Ternyata, kebakaran di KA Prameks ungun bukan pertamakalinya terjadi. Sebelumnya juga sudah pernah ada kejadian yang sama. Sehari kemudian, Senin, 5 Desember 2011, KA Prameks yang berwarna kuning dikabarkan menabrak seorang pengendara sepeda motor.
Perlu dipertanyakan, mengapa PT KAI tidak belajar dari pengalaman dan seperti tak memperbaiki pelayanannya? Padahal, harga tiket Prameks semakin bertambah, dari Rp 7.000,00 di tahun 2008 menjadi Rp 10.000,00 per Agustus 2011. Seharusnya PT KAI dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat, mengingat kereta api adalah salah satu alat transportasi utama masyarakat Indonesia.
|
Rabu, 30 November 2011
Kedua tweet di atas merupakan pertanda betapa Tugas Akhir a.k.a Skripsi telah mengalihkan dunia mahasiswa tingkat akhir. Tak terkecuali saya... (⌣ ́_⌣ ̀)
Banyak alasan yang mendesak bahwa skripsi harus segera dimulai dan diakhiri, intinya harus dikerjakan as soon as possible.
Tekanan paling #jleb tentu berasal dari orang tua. Terutama Mamah. Beliau berharap kelulusanku pas 4 tahun, sedangkan sampai detik ini aku belum mengajukan judul.
Bukannya aku tak ingin, namun benar kata orang bahwa menulis skripsi itu butuh mood! Dikatakan juga bahwa skripsi itu adalah pembelajaran untuk memaksa diri sendiri, kalau tidak disiplin, niscaya tidak akan selesai dengan cepat.
Ini juga yang sedang kulakukan, memaksa diri untuk memulai skripsi. Dimulai dari mencari topik “sesuatu banget” yang bisa diangkat sebagai judul.
Rabu, 09 November 2011
Hari Raya Idul Adha 1432 H ini tidak seperti biasanya. Aku tidak ikut sholat ied, bukan karena sedang berhalangan, tetapi harus menggendong Fahmi yang rewel. Sholat ied lebaran kemarin ibuku sudah merelakannya terlewat karena hal yang sama, jadi kupikir kenapa aku tidak bergantian dengan beliau?
Selesai sholat ied, Bapak dan kedua adikku bersiap ke rumah Nenek dan Kakek di Sragen, sedangkan aku, Ibu dan Fahmi tinggal di rumah saja. Seperti yang kubilang tadi, Idul Adha kali ini lain dari biasanya. Karena untuk pertama kalinya aku menunggu daging kurban datang, padahal biasanya, jangankan menunggu, mengharap saja aku tidak pernah. Ini karena aku tidak pernah doyan daging sapi dan kambing, terlebih yang dimasak sendiri. Ayam piaraan sendiri pun kalau disembelih, aku tak pernah ikut memakannya.
Beberapa hari sebelum sholat ied, aku bersemangat mencari resep masakan daging di internet, karena itulah aku menunggu daging kurban datang. Beberapa plastik yang berisi daging sapi dan kambing baru datang menjelang sore, maka aku mengurungkan niat untuk eksekusi hari itu. Baru hari berikutnya aku bersemangat untuk mencoba memasaknya.
Pertama, aku menyiapkan semua bumbu yang tertulis di resep masakan. Hari itu aku ingin bereksperimen membuat daging rendang, yang biasanya enak di Rumah Makan Padang itu lho. Seluruh bumbu aku blender jadi satu. Kemudian dengan susah payah aku mengiris daging yang beku dari kulkas. Karena di resep yang lain aku baca bahwa menambahkan soda kue dapat membuat daging menjadi empuk, jadi aku tambahkan saja serbuk itu ke dalam bumbu dan ku-blender lagi. Tiba-tiba terdengar bunyi seperti ledakan dan bau kabel terbakar! Langsung kumatikan blender seketika!
Aku tidak berani menyentuh blender lagi dan meneruskan mengiris daging. Bentuknya tidak karuan, benar-benar “potong sesuai selera”. Setelah itu kurendam daging dalam bumbu. Dalam resep itu tertulis “masak santan di atas wajan dengan api sedang, aduk sesekali hingga minyak dari santan mengambang di atas permukaan”. Karena tidak mengerti maksudnya, maka kubangunkan ibuku dan kuminta beliau untuk mengurusi "mainanku" itu.
Ibu: Tadi kamu ngasih soda kuenya seberapa? Gak banyak kan? | Aku: Ehm... Cuma sesendok kok.. Emang kenapa kalau banyak? | Ibu: Kalau kebanyakan nanti bisa meledak, kan itu fungsi utamanya buat pengembang kue | Aku: (dalam hati) pantas saja, tadi blender-nya hampir meledak... *kemudian spechless
Setelah ditangani ibuku, aku tak mau lagi berpapasan dengan masakanku itu. Orang rumah bilang rasanya rasa soda kue. Aku bahkan tak tega untuk sekedar ikut merasakannya... (._.)
Walaupun percobaan pertamaku gagal total, setidaknya ada 2 pelajaran yang bisa kuambil:
- Memang benar soda kue dapat membuat daging menjadi empuk, tapi caranya bukan direndam bersama bumbu, agar tidak merusak rasa nantinya.
- Sebaiknya bumbu tidak direndam bersama daging, tetapi ditumis pada tahap awal memasak, toh dagingnya sudah lebih empuk karena direndam dengan soda kue.
Oke, itulah cerita Idul Adha-ku. Mana ceritamu? \(^o^)/
Selasa, 30 Agustus 2011
- Mike
- Bang Mada
- Ifan
- Moslem
- Dicky
- Mbak Dewi
- Aul
- Dimas
- Nadya
- Mayang
- Maeshela
- Bang Agha
- Aji
- Intan
- Kecap
- Willy
- Akbar
- Mole
- Difta
- Yudha
- Tante
- Farid
- Ridwan
Rabu, 24 Agustus 2011
Hari pun berganti. Selesai menempuh UAS, kami diberangkatkan menuju tempat KKN masing-masing. Unit 154 terdapat 2 kali pemberangkatan, yaitu tanggal 3 Juli bagi mahasiswa yang membawa motor dan hari berikutnya bagi mereka yang menggunakan bus. Aku termasuk ke dalam rombongan pertama. Bukan karena aku membawa motor, aku hanya membonceng. Alasan pertama yang membuatku bertekad ikut berangkat lebih dahulu adalah karena aku suka tantangan dan aku ingin bisa mengetahui seperti apa medan yang harus aku hadapi nantinya.
Dengan perjalanan panjang, sampailah kami di rumah Bapak Kepala Desa Gempolan, untuk menurunkan barang-barang dari truk, barulah kemudian kami melanjutkan perjalanan ke rumah Pak Sukirno, Kepala Desa Plosorejo. Malam itu kami pertama kalinya melewati hutan karet, dengan medan jalan yang terjal, naik turun dan berkelok, serta tebing dan jurang di sisi kanan kiri. Rasanya seperti mengikuti tantangan fear factor. Di pagi hari sebelum berangkat ke Kantor Bupati untuk penyambutan pun, aku sempat linglung, tidak ingat sedang berada dimana, dan merasa aneh melihat ada motor berplat AD di depan mataku. Beberapa saat kemudian barulah aku sadar bahwa aku sedang memulai hari-hari KKN-ku di daerah Karanganyar, yang otomatis plat nomor kendaraannya sama dengan Karesidenan Surakarta.
Hari-hari awal kuhabiskan dengan menghafal nama teman-teman serumah yang berjumlah 22 orang. Aku juga lebih sering bersama teman-teman yang berasal dari bekas KKN Jepara karena merasa belum mengenal teman-teman dari bekas KKN Sukabumi. Untunglah waktu mencairkan semuanya. Semakin hari kami semakin solid dan tidak lagi berkelompok menurut bekas KKN masing-masing.
Ini kami sewaktu piknik ke Candi Cetho & Telaga Sarangan
Namun, tidak semua indah terasa. Aku sempat merasa tak nyaman dan butuh pelarian. Aku bersyukur karena bisa menemukan pelarian yang tepat dan melewati semuanya. Semakin hari semakin ringan. Tak ada lagi yang mengganjal di hati.
Di tempat KKN, aku tidak hanya belajar tentang bagaimana cara bermasyarakat, tetapi juga bagaimana cara untuk survive di luar zona nyaman kehidupan sehari-hari. Aku belajar mengenai cara beradaptasi di tengah orang-orang yang belum kukenal. Bahkan, aku harus mengedepankan sisi tomboy yang memang sudah ada dalam diriku sebagai tameng utama dalam bersikap. Dengan sikap tomboy aku merasa lebih aman dan mandiri. Aku merasa bisa melindungi diri sendiri dari berbagai hal, termasuk wabah “cinta lokasi”. Bukannya menyalahkan teman-teman yang benar-benar terjerat cinlok, melainkan dari awal memang sudah berniat untuk menghindari hal tersebut. Yang ada dipikiranku adalah bagaimana aku harus bisa menjalankan tugas-tugasku dengan baik selama di lokasi KKN, tanpa bermain hati. Aku cukup mengenal diriku sendiri. Aku tak akan bisa fokus jika sudah memakai perasaan.
Sempat suatu saat, aku merasa tidak nyaman dan mulai membeci orang lain, satu-satunya hal yang selalu kuhindari. Tiba-tiba saja aku menemukan sisi lain dari yang bersangkutan. Hal itu yang kemudian mengubah paradigmaku tentang mereka dan akhirnya aku tidak jadi membenci. Tanpa dendam, benar-benar melegakan. Bahkan, di akhir kebersamaan kami, aku semakin merasakan betapa baiknya teman-temanku. Aku merasa kami semua bersaudara. Aku menemukan banyak kakak perempuan dan para abang selama di sana. Kebersamaan kami merupakan sepenggal episode kehidupan yang tak akan pernah kulupakan. Dari yang awalnya penuh prasangka, berubah menjadi penuh cinta.
Sedih rasanya harus meninggalkan semua kebersamaan ini. Berpisah dengan orang-orang yang selama 2 bulan terakhir menghiasi kehidupanku, ada di hari-hariku. Aku rindu keluarga besar Plosorejo. Tidak hanya dengan teman-teman, melainkan juga dengan keluarga Pak Lurah, keluarga Mbak Anik, adik-adik SD, TPA, ibu-ibu PKK, semuanya.
Aku tak pernah menyesali itu semua. Walaupun awalnya tak seperti yang diharapkan, namun akhirnya melebihi yang bisa dibayangkan. Hanya doa yang bisa kupanjatkan untuk mereka, semoga Allah senantiasa melindungi di manapun berada. Semoga ada kesempatan sehingga kami bisa merasakan kebersamaan lagi di desa nan indah itu. Amin…
Kamis, 23 Juni 2011
Tapi setelah tangisku reda, aku merasa sangat lega. Aku jadi lebih bersemangat menyelesaikan sisa tugas UAS-ku agar besok bisa pulang dan merasakan peluk dan cium Mamah. Aku jadi mikir, masa iya aku masih kayak gini? Aku kan udah 21 tahun. Gimana nanti kalau kerja di luar kota? Gimana nanti kalau udah punya suami dan harus ikut suami kemanapun pergi? Gimana?..
Mamah, maafin anak manjamu ini ya... :(
Kamis, 02 Juni 2011
Chelsea Malik Ibrahim, biasa dipanggil Chelsea atau Eci. Lahir 20 Desember 2006 saat aku duduk di kelas XI SMA. Dari kecil sudah dekat denganku karena kami tumbuh bersama sampai kakakku dan suaminya memutuskan untuk menempati rumah masa kecil kami di Desa Bakalan, Polokarto, Sukoharjo. Walaupun tidak terlalu jauh dengan rumah yang sekarang kutempati, aku tak selalu bisa bertemu dengannya kalau aku pulang. Biasanya karena memang waktu yang terbatas, atau dia sedang berada di rumah neneknya di Mangkuyudan. Hal yang paling aku suka darinya adalah kata-kata ceplas-ceplos lucu lugu yang sering terucap dari bibirnya. Kemarin saat kami berkesempatan belanja ke Mitra Sukoharjo, ia mengomentari kegaguanku mengendarai motor matic.
Eci: "Lek Tika bisa pakai Mio gak?" | Aku: "Enggak" | Eci: "Kok Lek Tika gak bisa pakai Mio? Ayah, Bunda, Lek Isal bisa lho!" | Aku: "..."
Saat menyeberang jalan, motor kami berhenti di garis tengah dan aku memainkan lampu jarak jauh untuk memberi kode kepada pengendara lawan arah agar berhati-hati dan dia tiba-tiba berseloroh "Lek Tika kok mainan lampu sih? Brarti Lek Tika masih anak kecil".
Sabtu, 30 April 2011
Suatu saat, entah kapan, aku ingin berbagi cerita bersamamu dan mencari tahu apakah kaum mengalami hal yang sama, pernahkah kamu menggalau karenaku?